Laman


Search Box

17.11.10

Indonesia dalam Pusaran Neoliberalisme: Mencari Sosok ‘Ekonomi Kerakyatan’

“Kalau kita sungguh-sungguh mencintai Indonesia yang merdeka, yang bersatu, tidak terpecah belah, berdaulat, adil dan makmur, marilah bercermin sebentar, kembali kepada cita-cita dahulu yang begitu suci, dan mengembalikan pemimpin yang jujur berpadu dengan semangat yang siap melakukan pengorbanan...
Rakyat kita masih tetap miskin, bahkan lebih miskin daripada sebelumnya, di tengah-tengah kekayaan alam yang melimpah ruah. Paling baik kita merenungkan keadaan rakyat kita sekarang, yang sungguh-sungguh berhak untuk mendapatkan nasib yang lebih baik, nasib yang sesuai dengan tujuan kita semula”.
(Bung Hatta, Fifty Years of the National Movement, Pikiran Rakyat, 19 Mei 1958)
Kutipan di atas adalah ungkapan keprihatinan Bung Hatta setelah beliau berkeliling Sumatera sepanjang tahun 1957, di mana beliau melihat bahwa ternyata masih terjadi ketimpangan ekonomi yang demikian mencolok antara wilayah Jawa dan luar Jawa. Wilayah luar Jawa yang begitu kaya akan potensi sumberdaya alam ternyata hanya menjadi ‘pemasok’ bagi kekayaan (devisa) negara yang sebagian besar ternyata dinikmati oleh wilayah Jawa yang lebih sedikit potensi sumberdaya alamnya dan sumbangannya bagi kekayaan negara.
Kita semua tentu mendambakan terwujudnya kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Dan hal di atas hanyalah satu dari sekian permasalahan ekonomi-politik yang kita hadapi sebagai bangsa pada saat itu terkait kesejahteraan rakyat. Bagaimana dengan realitas ekonomi-politik di zaman reformasi yang kini telah berjalan lebih dari satu dasawarsa?
Indonesia dalam Pusaran Neoliberalisme: Perspektif Ekonomi-Politik
Hasyim Wahid (1999)(2), atau yang akrab dipanggil Gus Im, berpendapat bahwa ketika kita melihat dan mencermati perjalanan bangsa dan negara Indonesia, maka kita tidak boleh melepaskan arah negara ini dari faktor eksternal yaitu kapitalisme global. Kenapa? Karena, menurut beliau, dalam setiap fase sejarahnya, negara ini selalu bersinggungan dengan kapitalisme global yang ingin menjaga kepentingannya di negara kita.
Dalam perspektif ekonomi-politik, terdapat satu paradigma ekonomi-politik yaitu (yang berlandaskan prinsip) liberalisme, yaitu sebuah paham ekonomi-politik yang beranggapan bahwa manusia pada dasarnya adalah baik, sehingga ia harus diberi kebebasan untuk menentukan pilihannya, termasuk dalam aktivitas ekonomi. Tidak boleh ada campur tangan negara dalam aktivitas ekonomi masyarakat. Karena ketika masyarakat melakukan aktivitas ekonomi, maka secara otomatis mereka akan membagikan ‘kesejahteraan’ yang diperolehnya kepada orang lain yang ‘kurang beruntung’.
Paradigma liberal ini menekankan pada bekerjanya mekanisme pasar bebas, di mana semua transaksi ekonomi seharusnya diserahkan pada proses persaingan bebas di pasar, tanpa ada campur tangan negara. Paradigma inilah yang melahirkan kapitalisme –sebuah ideologi ekonomi-politik yang menekankan pada persaingan bebas (free-fight liberalism) untuk mendapatkan keuntungan ekonomi yang sebesar-besarnya (akumulasi modal). Jadi, secara tidak langsung –bagi para penganutya- dapat dikatakan bahwa penerapan paradigma liberalisme ini dalam tataran empiris ekonomi-politik akan menghasilkan kesejahteraan bersama dan keadilan sosial-ekonomi yang diharapkan oleh seluruh komponen masyarakat.
Kapitalisme Eropa di Indonesia telah bercokol sejak ekspedisi negara-negara Eropa seperti Spanyol, Portugis, dan Inggris ke negara ini untuk mencari ‘lahan baru’ bagi akumulasi kapital negara mereka, di mana Indonesia memiliki potensi ‘sumberdaya alam’ dan ‘sumberdaya manusia’ yang luar biasa. Dan untuk mengamankan kepentingan ekonomi itulah kemudian mereka melakukan kolonisasi atau penjajahan. Kekayaan alam negeri ini dikuras, dan manusia-manusianya dipaksa bekerja tanpa upah atau dengan upah sangat rendah. Begitu pulalah yang terjadi di kemudian hari ketika VOC datang dan lalu Jepang. Inilah yang dinamakan imperialisme.
Ketika Indonesia telah merdeka, kepentingan-kepentingan asing masih saja berkeliaran di sekitarnya untuk mencoba menanamkan pengaruhnya dan memuluskan kepentingan kapitalistiknya. Di era Bung Karno, terutama sejak dicanangkannya ‘Demokrasi Terpimpin’, kelompok-kelompok kepentingan asing yang -menginginkan liberalisasi ekonomi (kapitalisme)- merasa tersinggung dengan kemesraan beliau dengan PKI yang ‘kiri’ (sosialisme), kemudian melakukan melakukan berbagai upaya untuk menggulingkan tampuk kepemimpinan beliau. Pada akhirnya, lewat Soeharto, kegelisahan mereka terjawab, dan Soekarno yang anti neokolonialisme dan imperialisme (nekolim) itu pun jatuh -terlepas dari kekurangan beliau dalam memimpin- untuk kemudian digantikan oleh Soeharto yang lebih berpihak pada kepentingan mereka, para kapitalis.
Begitu pula pada saat Soeharto jatuh tahun 1998, selain karena memuncaknya gelombang kemarahan rakyat Indonesia terhadap otoritarianisme Orde Baru pimpinan Soeharto, ada satu faktor penting yang turut mempercepat proses reformasi tersebut, yaitu sudah tidak dibutuhkannya Soeharto sebagai ‘agen’ kaum neoliberal di Indonesia. Karena kekuasaan kaum neoliberal telah menancap begitu kuat di bumi Nusantara ini. Apalagi, ketika tahun 1998 Soeharto mulai menandatangani LoI (Letter of Intent) utang dengan IMF untuk menanggulangi krisis ekonomi yang melanda negara kita. Dalam praktiknya, prasyarat (conditionalities) yang diajukan –yang berjumlah 130, mencakup berbagai sektor ekonomi- justru memperburuk kondisi perekonomian kita. Pada tahun-tahun berikutnya, privatisasi besar-besaran terhadap BUMN-BUMN dan liberalisasi berbagai sektor perekonomian terjadi di negara ini, yang semuanya tidaklah terlepas dari kepentingan kaum neoliberal di Indonesia.



Ekonomi Kerakyatan: Antitesis Neoliberalisme
Beberapa tahun terakhir kita sering mendengar istilah paradigma ekonomi kerakyatan yang diajukan sebagai antitesis ekonomi-politik neoliberalisme. Istilah ekonomi kerakyatan adalah sebutan lain yang digunakan oleh Prof. Mubyarto terhadap konsep ekonomi Pancasila –yang sempat menjadi perdebatan pada tahun 1981 sampai awal 1990-an(3). Sebenarnya konsep ini, kalau kita telusuri secara historis, berakar dari gagasan Bung Hatta. Beliau mengemukakan bahwa sistem ekonomi Indonesia adalah sistem ekonomi yang menekankan perwujudan demokrasi ekonomi yang anti-liberalisme dan anti-kapitalisme.
Yang dimaksud dengan demokrasi ekonomi di sini adalah konsep ekonomi yang sesuai dengan Pancasila; yang berketuhanan, menjunjung tinggi rasa kemanusiaan, nasionalisme, kekeluargaan, dan berorientasi pada terwujudnya keadilan sosial. Kalau sistem ekonomi kapitalisme yang didasarkan pada liberalisme sangat menekankan persaingan bebas, di mana negara hanya mengurusi pada tataran makroekonomi, maka dalam demokrasi ekonomi yang ditekankan adalah pada penciptaan lapangan kerja (mengurangi/menghilangkan pengangguran) dan pelayanan/penjaminan negara terhadap kebutuhan publik seperti pendidikan dan kesehatan.
Dalam pemikiran Bung Hatta, sebagaimana gagasan beliau ketika merumuskan Pasal 33 UUD 1945, sektor-sektor perekonomian strategis haruslah dikelola oleh negara dan digunakan untuk mewujudkan kemakmuran rakyat. Ini bukan berarti bahwa usaha swasta dilarang. Beliau sangat menekankan tentang kewajiban negara dalam menjamin kesejahteraan warga negaranya. Beliau mengatakan: “…Menyediakan pekerjaan baginya adalah kewajiban pemerintah. Membayar upah yang cukup dan layak bagi kemanusiaan bukan kewajiban pemerintah saja, melainkan juga kewajiban usahawan partikelir terhadap buruhnya. Tidak ringan beban yang harus dipikul oleh usahawan partikelir dalam rangka ekonomi terpimpin menurut sistem UUD kita”(4).
Dalam mewujudkan keadilan sosial dan kemakmuran rakyat, bagi beliau, ukuran keberhasilan negara adalah kesesuaiannya dengan “suruhan” UUD 1945. “Negeri belumlah makmur dan belum menjalankan keadilan sosial, apabila fakir miskin masih berkeliaran di tengah jalan, dan anak-anak yang diharapkan akan menjadi tiang masyarakat di masa datang terlantar hidupnya”(5), kata beliau.
Wallahu a’lam bis shawab.


(1)Wahid, Hasyim. 1999. Telikungan Kapitalisme Global dalam Sejarah Kebangsaan Indonesia. Yogyakarta: LKiS.
(2)Istilah ekonomi Pancasila kemudian digunakan oleh Prof. Mubyarto ketika mendirikan Pusat Studi Ekonomi Pancasila UGM (PUSTEP UGM). Kemudian pada masa kepemimpinan Revrisond Baswir, lembaga ini diubah namanya menjadi Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM (PUSTEK UGM).
(3)Hatta, Moh. 1961. Ekonomi Terpimpin. Jakarta: Fasco. (hal. 51-52)
(4)Hatta, Moh. Idem. (hal. 52-53)

No comments: