Laman


Search Box

28.11.10

Asal muasal Kampung Kemayoran


·  Kampung Kemayoran
Nama Kemayoran, bagi penduduk yang sudah lama tinggal di Jakarta tentu tidak asing lagi karena dahulu di kampung Kemayoran terdapat perkumpulan kesenian keroncong yang seialu mengisi acara hiburan di Radio Republik Indonesia (RRl) Jakarta. Tetapi sebelum mengetahui lebih lanjut tentang kesenian keroncong Kemayoran terlebih dahulu akan dijelaskan keadaan kampung Kemayoran tempo dulu.
Dahulu kampung Kemayoran wilayahnya meliputi Serdang, Sumur Batu, Utan Panjang, Kebon Kosong, Kepu, Gang Sampi, Pasar Nangka dan Bungur. Di sini terdapat kali buatan hasil sodetan dari kali Ciliwung, memanjang dari Kwitang mengalir melalui belakang Gran Hotel, Senen, Adilihung, Pasar Nangka dan terus masuk Kemayoran. Kegunaannya pada waktu itu ialah untuk mengairi sawah-sawah letapi sekarang fungsinya sudah berubah menjadi comberan yang bercampur sampah-sarnpah. Adanya pembangunan disegala sektor, kampung Kemayoran akhirnya berubah menjadi ramai dan padat penduduknya. Tanah-tanah sawah, empang maupun tanah berawa tidak ada lagi dan telah menjadi tempat pemukiman dan pertokoan.
Adapun nama Kemayoran berasal dari kata mayor, yaitu suatu jabatan (pangkat) yang diberikan oleh pemerintah Belanda kepada orang-orang yang telah berjasa membantu pemerintah Belanda. Jabatan mayor tersebut tidak hanya diberikan kepada orang-orang Belanda tetapi juga kepada orang-orang Cina. Mereka diberi tugas oleh Pemerintah Belanda untuk menarik pajak dari Penduduk. Penarikan pajak tersebut dilakukan dari tanggal 1 sampai tanggat 10. Karena jabatan itu, maka mereka kaya dan memiliki tanah-tanah yang luas, sehingga mereka disebut sebagai tuan tanah.
Pada mulanya penduduk Kampung Kemayoran adalah orang Betawi. Kedatangan Belanda ke Jakarta sebagai bangsa penjajah banyak membutuhkan tenaga dari luar untuk diladikan pekerja dalam pembuatan jalan, parit-parit maupun untuk menjadikan milisi (wajib militer) dalam menghadapi Sultan Hasanudin dari Banten dan Sultan Agung dari Mataram. Selain itu untuk menghadapi musuh-musuhnya pemerintah Belanda mendatangkan orang-orang dari Cina, India, Sumatera dan Indonesia bagian timur. Dengan adanya bangsa-bangsa tersebut terjadilah asimilasi perkawinan diantara mereka. Kemudian datang orang Indo (campuran Belanda dan Indonesia) untuk tinggal di komplek tentara di jalan Garuda. Setelah perang dunia ke dua banyak bekas tentara Belanda (pensiunan) datang ke Kemayoran untuk tinggal di sana.
Setelah Indonesia merdeka, daerah Kemayoran banyak didatangi orang-orang perantauan dari Jawa Tengah (Yogya, Kebumen, Tegal, Purwokerto, Banyumas), Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, NTT dan NTB. Demikian pula bangsa-bangsa lain seperti Cina, Arab banyak berdatangan di tempat tersebut.
Pada masa pemerintahan Belanda Kemayoran merupakan sebuah Wekmeester yang dipimpin oleh seorang Bek. Baru setelah Indnesia merdeka, Kemayoran menjadi bagian dari wilayah Kecamatan Sawah Besar, Kawedanan Penjaringan, Walikota Jakarta Raya. Tetapi pada tahun 1963 - 1968 Kemayoran dimasukan kedalam wilayah Kecamatan Senen, Walikota Jakarta Raya. Setelah tahun 1968 Kemayoran dijadikan wilayah Kecamatan dengan meliputi lima kelurahan yaitu Gunung Sahari Selatan, Kemayoran, Kebon Kosong, Serdang dan Harapan Mulia.
Pada masa pemerintahan Belanda daerah Kemayoran tidak lepas dari kekuasaan mereka. Di bawah pemerintahan gubernur Jendral Daendels, usaha yang dilaksanakan ialah pembangunan jalan darat yaitu dari Anyer sampai Panarukan. Kebutuhan dana pembangunan jalan tersebut Daendeels dengan cara meniual tanah yang dikuasai kepada orang-orang kaya. Hal semacam itu terjadi pula pada tanah di Kemayoran. Umumnya pembelinya dari kalangan orang-orang kaya atau luan tanah dari golongan Cina, Arab dan Belanda, diantaranya ialah Rusendal, H. Husein Madani (lndo-Belanda), Abdullah dan De Groof.
Kekuasaan tuan tanah itu sama dengan tindakan yang dilakukan oleh pemerintah Belanda. Mereka berhak mengatur kembali tanah yang sebelumnya mereka adalah budak belian. Setelah perbudakan dihapus, mereka menjadi petani milik tuan tanah dan umumnya tuan tanah akan menentukan besarnya pajak yang harus mereka bayar.
Adapun pajak yang ditarik pada waktu itu ada dua macam yaitu pajak tempat tinggal dan pajak penggarap sawah hasil bumi. Untuk pajak tempat tinggal ditarik tiap bulan sebesar satu picis. Sedangkan untuk penghasil dibagitiga dengan perincian petani penggarap 25%, tuan tanah 45% dan mandor 30%. Disamping penggarap mengeluarkan 25%, mereka masih diharuskan memberikan sebagian hasilnya pada mandor. Apabila tanah itu ditanami kacang tanah, buah-buahan dan sebagainya, mereka diwajibkan membayar pajak tanah pada tuan tanah yang besarnya kurang lebih 4% dari hasil panen tersebut.
Adanya pendatang dengan mempunyai latar belakang kebudayaan dan pendidikan yang berbeda membawa pengaruh positif terhadap kehidupan penduduk Kemayoran. Dahulu mereka memang memandang para pendatang secara negatif, karena mereka menganggap bahwa para pendatang itu berasal dari kalangan orang-orang susah. Kesan semacam itu kemudian berubah setelah mereka mulai mengadakan komunikasi. Dengan adanya komunikasi terus-menerus mendorong penduduk Kemayoran mau bekerja keras untuk meningkatkan kesejahteraan keluarganya, karena banyak diantaranya dalam mereka bekerja tidak lagi hanya mengandalkan dari satu jenis pekerjaan seperti dahulu. Karena Kemayoran sekarang daerahnya sudah berubah menjadi tempat pemukiman, banyak diantara mereka yang mengalihkan mata pencahariannya yakni dari petani ke usaha-usaha lain seperti pedagang, buruh pabrik, bengkel dan lain-lain. Dengan dibangunnya Lapangan Terbang Kemayoran sekitar tahun 1935, penduduk membuka usaha seUagai pedagang keliling, nasi, perbengkelan, berjual alat-alat rumah tangga dan lain-lain.
Sudah menjadi tradisi bagi tuan-tuan tanah di daerah kemayoran, pada tiap-tiap tahun baru Cina, mereka mengadakan suatu pesta perayaan dengan acara pertunjukan sebagai hiburan bagi rakyat. Acara pertunjukan tersebut memperkenalkan kesenian rakyat yang sangat digemari pada saat itu misalnya kesenian Keroncong, Wayang Kulit, Gambang Kromong, Der Muruk dan lain-lain. Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai jenis kesenian yang sangat digemari saat itu, akan kami jelaskan di sini.
Musik keroncong mulai masuk di Indonesia sejak abad ke XVII berasal dari Portugis. Mula-mula dibawa oleh orang portugis ke Jakarta pada tahun 1661 oleh bekas tawanan tentara portugis yang kalah perang dan menetap di daerah Tugu, Jakarta Utara. Dari musik keroncong Tugu pengaruh Portugis inilah berkembang menjadi keroncong yang sampai kini merupakan lanjutan dari keroncong Oud Batavia (lief de Java) dan Keroncong asli Kemayoran.
Mula-mula musik keroncong Tugu ini hanya untuk mengiringi lagu-lagu bernada sedih bersifat irama melankolis dan bahasanya Portugis. Kemudian lagu-lagunya diperluas dan ditambah dengan irama stambil dan melayu mempergunakan bahasa Tugu sehingga terciptalah lagu-lagu seperti Cafrinyo (Kaparinyo), Jankafalati, Morasco, Proungga, Stambul Tugu (stambul jampang), Nina Bobok, Terang Bulan, Keroncong Tugu (menjadi keroncong Kemayoran sekarang) dan lain-lain
Kemudian pada abad ke XX sekitar tahun 1920-1925 berdiri musik keroncong Lief de Java (Oud Batavia) yang disponsori oleh orang Belanda dengan para pemainnya campuran orang Belanda dan orang Indonesia. Mereka memoderenkan musik keroncong asal Tugu dengan irama musik Jazz Band, walaupun irama keroncongnya tetap ada dan lagu-lagunya juga lagu Indonesra. Peralatannva ditambah dengan gitar, melodi, okulele (cuk), bass dan seruling. Penyanyinya ialah Amri Landaw dan Leo Spei. Dari orkes keroncong Oud Batavia ini berkembang rnenjadi Keroncong Asil Jakarta, salah satu diantaranya ialah Keroncong Kemayoran dari Daerah Kepu, Kemayoran dibawah pimpinan M. Sagi.
Orkes keroncong Kemayoran untuk pertama kalinya tampil dimuka umum pada tahun 1922. Mereka selalu mendapat panggilan dari orang-orang Belanda atau Cina yang kaya untuk memeriahkan pesta perkawinan atau pesta ulang tahun di ternpat kediarnan mereka. Disamping itu orkes keroncong ini tidak ketinggalan pula turut serta mengikuti 'perlombaan orkes keroncong' yang diadakan tiap-tiap tahun di pasar malam Gambir. Diarena pertunjukan ini orkes keroncong Kemayoran harus menghadapi saingan-saingan yang dianggap kuat yaitu orkes Keroncong Tugu dan orkes Lief De Java (Oud Batavia). Alat-alat musik yang dipakai oleh orkes keroncong Kemayoran pada waktu itu masih sangat sederhana terdiri dari biola, keroncong, rebana dan gitar pengiring. Mereka tarnpil dengan memakai pakaian seragam khas Betawi, yaitu jas tutup dan kain batik.
Pada tahun 1929 di daerah Kemayoran berdiri orkes Keroncong Fajar dibawah pimpinan Bapak Suratman. Penyanyinya pada waktu itu ialah Suratmi dan Safi'i. Peralatan yang dipergunakan ditambah dengan alat-alat musik lainnya seperti : Okulele (Cuk), Cello, Bass dan Gitar Melodi.
Lagu yang dibawakannya ialah keroncong Kemayoran, Moressco, dan Cafrinyo (Kaparinvo). Lagu keroncong Kemayoran sampai sekarang tidak diketahui siapa pengarangnya. Syair lagunya mungkin berasal dari Keroncong Tugu, tetapi bahasanya yaitu bahasa Indonesia.
Kata-kata lagunya tergantung pada kehendak si penyanyi yang membawakannya. Salah satu syair dari laqu keroncong adalah sebagai berikut :
Ani-ani bukannya waja
Memotong padi digunung
Saya menyanyi bukan sengaja
Menghibur hati nan bingung
Reff : Olele di Kotaraja
Bole enggak boleh
Dibawa Saja.

Orkes keroncong Fajar ini, banyak yang menggemari sehingga sering dipanggil untuk bermain di daerah Jati Negara, Petojo, Sawah Besar dan Kwitang. Ketika orkes keroncong Fajar tidak terdengar lagi kegiatannya, muncul di daerah Kepu Kemayoran orkes keroncong Sinar Betawi dibawah pimpinan M. Sagi, penyanyinya yang terkenal pada waktu itu ialah adik M. Sagi yaitu Miss Rum.
Pada masa pendudukan Jepang di Indonesia, orkes keroncong Sinar Betawi ikut mengisi acara unkuk hiburan keroncong di RRI Jakarta yang pada waktu itu bernama Radio Ketimuran ialah lagu Jali-jali, dibawakan.oleh penyanyi Miss Rum. Disamping pemimpin orkes keroncong, M. Sagi dikenal pula sebagai pencipta lagu, ciptaannya yang terkenal ialah dasi biru dan buah Detima.
Pada masa kemerdekaan M. Sagi tetap aktif mengisi acara hiburan keroncong di RRI Jakarta dengan nama Orkes Radio Indonesia. Penggemarnya semakin banyak, sehingga mendapat panggilan untuk bermain di luar kota Jakarta yaitu kota Krawang, Pekalongan, dan Solo. Pada tahun 1954 M. Sagi meninggal dunia, maka orkes keroncong yang dipimpinnya berhenti kegiatannya. Kemudian dilanjutkan oleh adik iparnya, yaitu Bapak Isbandi. Beliau adalah suami Miss Rum. Peralatan yang dipergunakan ditambah dengan alat-alat musik lainnya, seperti banyo, suling, biola, dan Flut.
Orkes keroncong pimpinan Isbandi mengisi acara RRI seminggu sekali. Penyanyinya yang terkenal pada waktu itu ialah Sayekti, Masnun, dan Abdul Gani. Pada tahun 1957 berdiri Orkes Keroncong Suara Kemayoran dibawah pimpinan Ahmad Borni. Karena beliau bekerja sebagai karyawan RRI Jakarta, maka orkes Keroncong Suara Kemayoran sering mengisi acara hiburan keroncong di RRI. Penyanyinya ialah Neti. Lagu Bandar Jakarta merupakan lagu yang sangat digemari pada waktu itu. Tetapi setelah Bapak Ahmad Borni meninggal dunia, kegiatan orkes keroncong tersebut berhenti dan tidak ada yang melanjutkan. Orkes keroncong Kemayoran pada awal abad XX merupakan orkes hiburan yang sangat digemari oleh masyarakat. Namun kini nama orkes tersebut hanya tinggal kenangan, karena kurang diminati warga Kemayoran untuk melestarikan kesenian tersebut.
Musik Gambang Kemayoran adalah seni musik yang mendapat pengaruh Cina, tetapi irama dalam lagunya mempergunakan dialek Jakarta. Di daerah Kemayoran ini tidak disebut Gambang Kromong, karena alat musik kromong tidak dipergunakan. Pada tahun 1922 di daerah Kemayoran berdiri perkumpulan gambang di bawah pimpinan Bapak Samsu yang merangkap sebagai penyanyi. Alat-alat musik gambang Kemayoran terdiri dari gambang, gebian, kretek, gending, dan kempul. Para penyanyinya ialah Laman dan Samsu sering memukau hati penonton dengan membawakan lagu_lagu yang digemari yaitu Onde-Onde, Si Jongkong Kopyor dan Kapal Karem.
Adapun pertunjukan Wayang Kulit berasal dari pengaruh Jawa. Ceritanya diambil dari Epos Mahabarata dan Ramayana dan bahasa yang dipakai dalang dalam pertunjukan wayang kutit ialah bahasa Betawi. Wayang kulit Betawi yang terkenal di daerah Kemayoran ialah dibawah pimpinan Bapak Bagong yang tinggal di daerah Kebon Kosong. Wayang kulit Betawi dipertunjukkan pada waktu pesta perkawinan, sunatan, ruwatan, atau pesta tahun baru yang diselenggarakan oleh tuan tanah di Gedung Tinggi Kemayoran. Tema ceritanya diambil dari cerita Batara Kara yang maksudnya memberi nasihat kepada masyarakat baik anak-anak, remaja, maupun orang tua. Sebelum pertunjukan wayang dimulai, sesajen harus disediakan. Sesajen yang dipakai pada waktu upacara ruwatan ialah seikat padi, batang tebu dan daunnya, setandan pisang, kelapa hijau, buah, rokok, dan 7 macam jajanan pasar.

Adapun empat macam tumbuh-tumbuhan yang tersebut di atas mempunyai makna bagi masyarakat Betawi, yaitu :
a. Padi maksudnya anak Betawi bila sudah menikah janganlah seperti anak muda.
b. Tebu maksudnya anak Betawi sesudah menikah jangan seperti rnakan tebu, habis manis sepah dibuang.
c. Pisang maksudnya sangat penting dalam membina rumah tangga, sebelum orang itu mati memberikan darma baktinya atau amal kebaikan.
d. Kelapa maksudnya anak-anak Betawi sesudah kawin jadilah akar kelapa menjadi seia sekata saling gotong royong.

Der Muruk adalah sejenis sandiwara atau tonil yang ceritanya berasal dari pengaruh Arab Parsi, sedangkan bahasanya yaitu bahasa Melayu. Diperkirakan pertunjukkan Der Muluk berkembang menjadi pertunjukan lenong, karena lenong asli yaitu disebut lenong Dines mengambil cerita tentang kisah raja-raja dan bahasanya Melayu tinggi bukan bahasa Betawi. Salah satu cerita Der Muluk yang sangat disukai oleh masyarakat Kemayoran ialah cerita Indra Bangsawan dan Jin Afrit. Para pemain mengenakan pakaian seperti raja-raja Melayu. Musik pengiring cerita ada dua macam, yaitu tambur Cina dan Harmonium.
Apabila layar dibuka musik pengiringnya ialah tambur Cina, dan jika adegan perang atau perkelahian maka musik pengiring ialah harmonium. Permainan Der Mulur hanya untuk orang laki-laki, kaum wanita dilarang ikut main. Demikianlah nama-nama jenis kesenian Betawi yang digemari masyarakat Kemayoran pada awal abad XX.
Rumah sebagai tempat tinggal keluarga sangat penting artinya di dalam kehidupan, dari mulai lahir sampai akhir hayat dan sering berganti sampai beberapa keturunan. Dalam segala hal, baik bentuk, gaya, dan model, maupun konstruksi dan susunannya, atau ragam hias dan lain-lainnya tidak dapat terlepas dari filsafat dan pandangan hidup masyarakat setempat atau bangunan itu didirikan dan kaitannya dengan semesta alam serta isinya.

Demikian pula mengenai bentuk-bentuk atau model rumah tradisional orang Betawi, baik yang ada di wilayah kota maupun yang ada di daerah pinggiran DKI Jakarta dan sekitarnya. Berdasarkan beberapa informasi dari orang-orang Betawi, baik yang di kota maupun yang dipinggiran, maupun tipologi atau bentuk rumah biasanya disebut menurut atapnya atau menurut strukturnya, dapat dibagi kedalam beberapa model atau gaya sebagai berikut :
- rumah Betawi model Bapang;
- rumah Betawi model Joglo;
- rumah Betawi model Kebaya;
- rumah Betawi model Jure;
- rumah Betawi model Gudang, dan lain-lain.

Adapun bentuk atau model rumah Betawi tradisional yang seperti disebutkan di atas, ada perbedaaan dalam bentuk atau model yang ada di wilayah Jakarta kota dan di wilayah pinggiran yang sebagian besar penduduknya hidup bertani. Bentuk-bentuk model di daerah pinggiran lebih sederhana, kebanyakan bentuk rumahnya lebih menyukai model jure, bapang, dan gudang dengan biliknya terbuat dari anyaman bamboo, walaupun sekarang ini sudah banyak perubahan yang terbuat dari bata.
Bentuk rumah tradisional orang Betawi kota, seperti yang masih ditemui di beberapa daerah Tanah Abang, Kwitang, Petojo, Batu Tulis, Kemayoran, dan daerah lainnya, lebih banyak ditemui rumah Betawi model Joglo dan kebaya.
Adapun dalam penulisan ini sebagai contoh penelitian adalah daerah Kemayoran yang termasuk wilayah kota Jakarta Pusat. Umumnya sekarang model rumah penduduk Betawi sudah banyak diubah sesuai dengan perkembangan zaman dan kemampuan pemiliknya sendiri. Tetapi walaupun sudah banyak perubahan lingkungan fisik dan penghuninya, masih ada ditemui beberapa rumah asli orang Betawi tempo dulu meskipun sudah tidak utuh lagi tetapi masih mencirikan unsure-unsur rumah Betawi tradisional. Seperti yang kami lihat di Kemayoran Gardu, ada rumah Betawi milik dari Perkumpulan Marsudi Rukun (PMR) yang dindingnya terbuat dari “pager citak”. Rumah tersebut oleh penduduk setempat disebut rumah pager citak. Pagarnya atau dindingnya terbuat dari bilahan pelupuh bamboo yang diselipkan ke dalam lonjongan potongan bambu bulat yang sudah dilubangi dan Nampak menyerupai cetakan segi empat. Berbeda dengan dinding bilik bambu yang dianyam seperti rumah orang Betawi di daerah pinggiran kota Jakarta.

Referensi : Kampung Tua di Jakarta, Dinas Museum dan Sejarah, 1993
Sumber : diskominfomas
·  Ali
Jejak Kemayoran
Menapak langkah Kemayoran di Batavia

Kemayoran dari Masa ke Masa

Walaupun secara administratif kota Batavia membentang hingga Tangerang-Bogor, namun pengembangan fisik masih terbatas pada kawasan sekitar pusat kota dan pelabuhan. Keterbatasan pengembangan ini antara lain disebabkan keadaan Batavia yang dikelilingi tembok kota dan benteng-benteng pertahanan karena banyaknya serangan untuk merebut Batavia, juga sentralisasi sistem pemerintahan. Benteng dan tembok kota baru dirubuhkan tahun 1810 pada masa pemerintahan Daendels. Sementara itu wilayah pedalaman dan pinggiran kota Batavia masih belum banyak 'tersentuh' dan tetap berupa perkampungan pribumi. Beberapa diantaranya kemudian dikuasai oleh tuan tanah, salah satunya ialah kawasan Kemayoran.

Meski keberadaan kampung dan penduduknya mungkin sudah ada sejak masa lampau, namun sebagai bagian kota Jakarta, nama dan wilayah Kemayoran baru dikenal pada masa VOC sekitar abad ke-18. Wilayah Kemayoran hingga awal abad ke-20 masih didominasi oleh rawa dan persawahan dengan beberapa titik pemukiman yang menjadi kampung.

Secara wilayah kepemerintahan, pada masa pemerintahan Belanda, Kemayoran merupakan sebuah Weekmeester yang dipimpin oleh seorang Bek. Setelah kemerdekaan, Kemayoran menjadi bagian dari wilayah kecamatan Sawah Besar, Penjaringan - Jakarta Raya. Tahun 1963 - 1968, Kemayoran dimasukkan ke dalam wilayah kecamatan Senen, Jakarta Raya. Lalu sejak tahun 1968 hingga sekarang, Kemayoran menjadi wilayah Kecamatan dari kotamadya Jakarta Pusat.

Pada mulanya penduduk Kampung Kemayoran ialah penduduk asli yang berasal dari campuran kelompok etnik kerajaan Pajajaran, Demak, Mataram, dan beberapa bangsa asing yang tiba sebagai pendatang. Setelah dikuasai Belanda, mulai muncul para pendatang dari Cina, India, Sumatera, dan Indonesia bagian Timur yang dijadikan pekerja dalam ekspansi dan pembangunan Batavia berupa pembuatan jalan, parit-parit, atau ikut dalam wajib militer menghadapi Sultan Maulana Hasanuddin dan Sultan Agung dari Mataram.

Dibawah pemerintahan Daendels, dalam usaha pembuatan jalan Anyer-Panarukan yang membutuhkan banyak dana pembangunan. Daendels menjual tanah yang dikuasai pemerintah kepada orang-orang kaya. Hal semacam itu terjadi pula pada tanah di Kemayoran. Umumnya pembeli berasal dari golongan Belanda, Cina dan Arab. Diantaranya ialah Rusendal, H. Husein Madani (Indo-Belanda), Abdullah, dan De Groof.

Tuan tanah memiliki kekuasaan untuk mengatur tanah dari penggunanya yang merupakan budak belian dan penduduk pribumi. Setelah perbudakan dihapus mereka menjadi petani milik tuan tanah, dan umumnya tuan tanah akan menentukan besar pajak yang harus dibayar.

Pajak yang ditarik pada waktu itu ada dua macam, yaitu pajak tempat tinggal dan pajak penggarap sawah hasil bumi. Untuk pajak tempat tinggal ditarik tiap bulan sebesar satu picis. Sedangkan untuk penghasilan dibagi tiga, dengan perincian petani penggarap 25%, tuan tanah 45%, dan mandor 30%, disamping itu penggarap masih harus memberikan sebagian hasil mereka pada mandor.

Sampai dengan tahun 1903, Batavia masih dibawah pemerintahan langsung atau terpusat (sentralisasi). Baru pada awal abad ke-20 tersebut diterapkan desentralisasi yang menandakan berkembangnya Batavia menjadi kota kolonial modern. Wujud penanganan baru ini dapat dilihat pada perbaikan dan pengaspalan jalan, perluasan penerangan jalan, pembangunan pasar-pasar baru, penyediaan air bersih, pembangunan terusan banjir (bandjir kanaal), dan terutama perluasan kota.

Untuk perluasan kota, kotapraja mulai membeli tanah dari kampung-kampung di dan sekitar Batavia, yang kemudian dijadikan hak milik pribadi. Pada mulanya penduduk kampung disingkirkan untuk menyediakan tempat bagi bangunan baru. Namun karena justru menimbulkan persoalan baru pemukiman penduduk di kampung-kampung, maka dilakukanlah upaya perbaikan kampung. Di bidang tanah yang baru dibeli, dibangun daerah pemukiman untuk berbagai kelompok yang datang. Untuk pendatang yang kurang mampu dibangun rumah-rumah lebih kecil dan berdempetan. Kemayoran, bersama dengan kampung-kampung seperti Petojo, Jatibaru, Cideng, Kramat, dan Tanah Tinggi ialah daerah yang dialokasikan untuk pendatang baru kelas menengah-bawah. Sedang untuk warga yang lebih berada. dibangun daerah Menteng dan Gondangdia yang mirip dengan kota kebun Belanda.

Berbagai pendatang yang tiba di Kemayoran ini diantaranya berasal dari golongan Indo (campuran Belanda dan Indonesia) yang tinggal di Jl. Garuda. Bahkan setelah PD II banyak bekas tentara Belanda menetap di Kemayoran. Sekitar tahun 1930-an, Kemayoran pun terkenal sebagai pemukiman kaum Indo-Belanda, sehingga muncul sebutan Belanda Kemayoran. Setelah Indonesia merdeka, gelombang pendatang kaum urban tiba di Kemayoran dan Jakarta dari berbagai daerah seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatra, Kalimantan, NTT, dan NTB.

Hadirnya berbagai pendatang dengan latar belakang kebudayaan dan pendidikan yang berbeda membawa pengaruh positif terhadap penduduk Kemayoran. Semula para pendatang dipandang negatif karena anggapan berasal dari golongan orang susah. Namun dengan adanya komunikasi diantara mereka, anggapan tersebut mulai berubah. Bahkan penduduk asli mulai terpengaruh untuk bekerja keras demi kesejahteraan keluarganya.

Berubahnya Kemayoran menjadi pemukiman yang lebih ramai, dan dibukanya Bandara Kemayoran tahun 1935 membuat banyak diantara penduduknya mengalihkan mata pencaharian dari petani ke usaha-usaha lain seperti pedagang alat rumah tangga, pedagang keliling, buruh pabrik, perbengkelan, dan sebagainya.

Difungsikannya bandara juga yang menyebabkan wilayah Kemayoran kurang berkembang dari sisi pembangunan fisik dan ekonomi. Sebagai wilayah yang digunakan untuk lapangan udara, kawasan Kemayoran dan sekitarnya praktis tidak boleh didirikan bangunan tinggi. Meski tidak jauh dari pusat kota Jakarta di Parade Plaats (Medan Merdeka), namun Kemayoran tidak berkembang sebagai kawasan pusat perekonomian dan bisnis. Selain itu, rencana pengembangan kota Jakarta memang lebih diberatkan ke arah selatan pusat kota. Wilayah Kemayoran, selain sebagai bandar udara, memiliki fungsi sebagai kawasan pemukiman penduduk Jakarta.

Hingga pertengahan tahun 1980-an, masih banyak lahan kosong berupa lapangan, dan kebun di wilayah kecamatan Kemayoran. Jarak antar rumah cukup jauh, dan tersebar di beberapa kampung. Jaringan jalan yang ada, juga masih banyak yang berupa tanah. Kondisi kampung yang 'masih asli' dan belum banyak sentuhan metropolis ini menyebabkan berbagai budaya dan kesenian yang berkembang di wilayah ini cukup terpelihara.

Setelah ditutupnya bandara Kemayoran, kawasan Kemayoran yang tadinya diperuntukkan sebagai bandara dan pemukiman kelas menengah-bawah, mulai beralih fungsi. Eks bandara Kemayoran, kemudian digunakan sebagai arena Pekan Raya Jakarta yang berlangsung tahunan dan berpotensi untuk meningkatkan kegiatan ekonomi. Pemukiman elit dengan nama Kotabaru Kemayoran juga dibangun di kawasan bekas bandara ini. Gedung-gedung tinggi kini dapat dibangun setelah Kemayoran tidak lagi memiliki bandara, sehingga Kemayoran berkembang menjadi pusat bisnis dan kegiatan ekonomi baru di Jakarta.

Perubahan-perubahan ini dengan sendirinya mengubah wajah Kemayoran menjadi kota yang lebih metropolis. Konsekuensinya, nilai-nilai budaya khas betawi yang ada di Kemayoran perlahan memudar seiring dengan semakin metropolisnya Jakarta, dan semakin padatnya pemukiman.
Legenda di Masyarakat

Tekanan-tekanan berupa pajak besar dan kerja paksa (rodi) yang diterapkan pada masa penjajahan oleh kompeni (VOC) seakan masih belum cukup menyusahkan rakyat. Sulitnya keadaan ekonomi membuat banyak jagoan-jagoan silat melakukan tindakan kriminal dengan merampok, atau mengabdi pada VOC dan menyalahgunakan jabatannya untuk mengintimidasi warga.

Salah satu cerita yang berkembang menjadi legenda di daerah Kemayoran ialah keberadaan Murtado, Si Macan Kemayoran. Murtado, pemuda jago silat yang tinggal di kampung daerah Kemayoran ini menentang centeng-centeng dan jagoan lokal yang menindas warga.

Keberpihakan Murtado pada rakyat digambarkan pada episode saat Murtado melawan jagoan kampung di acara panen padi. Ketika itu Mandor Bacan, jagoan yang mengabdi pada VOC mengintimidasi warga yang menghitung hasil panen. Seorang gadis yang mengikat padi hasil panenan, diancam dan dipermainkan oleh Mandor Bacan. Ia menuduh gadis tersebut berlaku curang dengan membuat ikatan padi terlalu besar dan tidak imbang pembagiannya. Intimidasi Mandor Bacan menyulut kemarahan Murtado, terjadilah perkelahian antara mereka, dan ternyata Mandor Bacan tidak sanggup melawan Murtado.

Mandor Bacan meminta bantuan Bek Lihun, jagoan kampung lainnya yang mengabdi pada VOC. Namun, meski melawan dua orang, Murtado masih sanggup menga-lahkan mereka. Permusuhan terus berlanjut hingga akhirnya Bek Lihun dan Mandor Bacan yang merasa tidak sanggup mengatasi Murtado menghentikan teror dan intimidasi mereka pada warga.

Bandara Kemayoran
Landasan Bandara Kemayoran mulai dibangun tahun 1934 oleh pemerintah kolonial Belanda, dan diresmikan tanggal 8 Juli 1940 sebagai lapangan terbang internasional. Bandara dikelola oleh Koninklijke Nederlands Indische Luchtvaart Maatschappy (KNILM). DC-3 milik KNILM yang terbang dari lapangan udara Tjililitan (sekarang Halim PK), menjadi pesawat pertama yang mendarat di bandara Kemayoran dua hari sebelum peresmian. Pesawat sejenis, yakni DC-3 juga yang pertama bertolak dari Kemayoran menuju Australia sehari kemudian.

Airshow pertama diselenggarakan bertepatan dengan hari ulang tahun Raja Belanda, 31 Agustus 1940. Selain digelar pesawat-pesawat milik KNILM, pesawat-pesawat pribadi dari Aeroclub di Batavia juga meramaikannya. Ada Buckmeister Bu-131, Jungmann, de Haviland DH-82 Tigermoth, Piper Cub, dan pesawat Walraven W-2 yang pernah melakukan penerbangan Batavia-Amsterdam pada 27 September 1935.

Saat perang Asia Pasifik berkecamuk, bandara Kemayoran tak luput dari serangan pesawat-pesawat terbang Jepang. Tanggal 9 Februari 1942, dua DC-5, dua Brewster dan sebuah F-VII terkena serangan hingga beberapa pesawat KNILM terpaksa diungsikan ke Australia.

Saat Jepang berkuasa (1942-1945), pesawat-pesawat buatan Jepang mengisi Kemayoran. Pesawat pertama yang mendarat ialah pesawat tempur Mitsubishi A6M2 Zeke, lebih dikenal dengan nama Navy-0 atau Zero. Setelah Jepang menyerah, giliran pesawat-pesawat Sekutu yang datang ke Kemayoran, seperti Supermarine Spitfire, B-25 Mitchell, dan P-51 Mustang. Selain itu berdatangan pula pesawat-pesawat lain, diantaranya DC-4/C-54 Skymaster, DC-6, Boeing 377 Stratocruiser, dan Lockheed Constelation.

Setelah masa perjuangan kemerdekaan, berdiri Garuda Indonesian Airways. Dengan hadirnya Garuda, pesawat-pesawat modern saat itu hadir di Kemayoran. Era penerbangan sipil modern tahun 1950-an ditandai dengan beroperasinya pesawat bermesin jet. Pada masa itu, pesawat-pesawat turboprop berdatangan ke Kemayoran, antara lain Saab 91 Safir, Grumman Albatros, Ilyushin Il-14, Cessna, juga pesawat-pesawat buatan Nurtanio, seperti NU-200 Sikumbang, Belalang, dan Kunang. Berbagai Kepala Negara dunia juga pernah menginjakkan kakinya di Bandara Kemayoran dengan diselenggarakannya even tingkat internasional seperti Konfrensi Asia Afrika pada era Soekarno.

Militer Indonesia, AURI (kini TNI AU) juga memanfaatkan Bandara Kemayoran. Akhir tahun 50-an sampai awal 60-an berdatangan pesawat MiG-17, MiG-15 UTI, dan MiG-19. Pesawat pembom Ilyushin Il-28 juga turut meramaikan bandara.

Memasuki tahun 70-an, era pesawat jet badan lebar berteknologi canggih muncul, yakni B-747, L-1011, DC-10, dan Airbus. Pada 29 Oktober 1973, pesawat DC-10 milik KLM yang disewa Garuda untuk angkutan jemaah haji, tercatat sebagai pesawat terbesar dan terberat yang pernah singgah di bandara Kemayoran.

Kesibukan bandara tahun 1970-an memaksa pemerintah membuka Halim Perdanakusuma sebagai bandara internasional pada 10 Januari 1974, sedang penerbangan domestik seluruhnya masih bertempat di Kemayoran.

Beberapa pesawat pernah mengalami naasnya di Kemayoran. Sebuah Beechcraft pernah mengalami musibah saat mendarat. Pesawat lain, Convair 340 mendarat tanpa roda, DC-9 mengalami patah badan pesawat di landasan, terbakarnya pesawat DC-3, serta yang terdahsyat, kecelakaan Fokker F-27 yang menyebabkan seluruh awaknya meninggal.

Menara pengawas lalu lintas udara peninggalan bandara Kemayoran dengan latar belakang JI Expo (PRJ)

Hingga hari-hari terakhir beroperasi, 31 Maret 1985, masih terdapat beberapa pesawat yang dulu hadir saat peresmian bandara. Sebelumnya, tahun 1984, Kemayoran menyisakan satu kenangan. Pesawat DC-2 Uiver dalam lawatannya mengenang 50 tahun terbang legendaris rally udara London-Melbourne tahun 1934, singgah untuk mengisi bahan bakar di Kemayoran. Pesawat DC-3 Dakota, menjadi pesawat terakhir yang meninggalkan Bandara Kemayoran sebelum ditutup.

Bulan-bulan pertama sejak bandara ditutup dan pindah ke Bandara Soekarno-Hatta di Cengkareng, suasana bandara masih tampak hidup walau tanpa aktivitas penerbangan. Bandara Kemayoran masih dipakai sebagai arena IAS tahun 1986.

Kini, eks Bandara Kemayoran berubah menjadi kompleks Pekan Raya Jakarta, dan Kotabaru Kemayoran. Meski demikian, saat ini bangunan yang dulunya digunakan untuk terminal dan ruang tunggu penumpang bandara masih berdiri walau nampak tidak terurus. Di bandara juga masih terdapat menara pengawas udara, yang menjadi sisa peninggalan kejayaan bandara dengan menara pengawas lalu-lintas udara pertama di Indonesia.
Keroncong Kemayoran dan Seni Budaya Lainnya

Berbagai seni budaya daerah, baik yang khas Betawi maupun serapan dari etnis lain, banyak berkembang di kampung Kemayoran. Diantaranya ialah keroncong, contohnya petikan lirik berikut :

Ani-ani bukannya waja
Memotong padi di gunung
Saya menyanyi bukan sengaja
Menghibur hati nan bingung

Reff: Olele di Kotaraja
Bole enggak boleh
Dibawa saja

Sepenggal lagu keroncong itu menjadi simbol kebanggaan penduduk Kemayoran, kampungnya musik keroncong yang terkenal pada masa Hindia Belanda. Syairnya tidak terikat pada suatu cerita bersambung, melainkan pantun-pantun lepas yang diingat secara improvisasi tatkala bernyanyi, dan kadang-kadang tidak ada kaitan dialog satu sama lainnya, asalkan efek pantun mengenai sasaran dengan sindiran lucu, gembira, tapi tidak menyinggung perasaan lawan bernyanyi.

Keroncong Tugu banyak mendapat pengaruh Portugis dan berkembang menjadi keroncong asli Kemayoran. Sekitar tahun 1920-1925 berdiri orkes keroncong Oud Batavia (lief de Java) yang disponsori orang Belanda dengan para pemainnya campuran orang Belanda dan Indonesia. Mereka memodernkan musik keroncong asal Tugu dengan irama musik Jazz Band, walaupun begitu irama keroncongnya tetap ada dan lagu-lagunya juga lagu Indonesia. Peralatannya ditambah dengan gitar, melodi, ukulele (cuk), bass, dan seruling. Penyanyinya ialah Amri Landaw dan Leo Spel.

Orkes ini kemudian berkembang menjadi keroncong asli Jakarta, salah satu diantaranya ialah Keroncong Kemayoran dari daerah Kepu, pimpinan M. Sagi (sering dieja dengan M. Sjaugi). M. Sagi juga yang mempopulerkan lagu rakyat Jali-jali melalui kemampuannya bermain biola yang tak ada tanding saat itu di tahun 1942, menyebabkan lagu ini menjadi lagu rakyat Betawi.

Orkes keroncong Kemayoran untuk pertama kalinya tampil di muka umum tahun 1922. Mereka selalu mendapat panggilan dari orang-orang Belanda atau Cina yang kaya untuk memeriahkan pesta perkawinan atau pesta ulang tahun. Selain itu, mereka tidak ketinggalan pula mengikuti perlombaan orkes keroncong yang diadakan tiap tahun di pasar malam Gambir.

Kelompok-kelompok orkes keroncong yang ada di daerah Kemayoran selain orkes Keroncong Kemayoran sendiri diantaranya ialah orkes Keroncong Fajar (1929), orkes keroncong Sinar Betawi, dan orkes keroncong Suara Kemayoran (1957). Mereka tampil dengan memakai pakaian seragam khas Betawi, yaitu jas tutup dan kain batik.

Tidak hanya keroncong yang digemari masyarakat saat itu, tetapi juga Robana Gembrung, Wayang Kulit, Tanjidor, Cokek (Cokek Ken Bun), orkes Gambus, dan Gambang. Kesenian ini terutama berkembang pesat di awal abad ke-20, dan mulai meredup kehilangan penggemarnya sejak tahun 1970-an.

Musik Gambang yang berkembang di Kemayoran mendapat pengaruh dari Cina, tetapi irama dan lagunya berdialek Jakarta. Musik ini sering disebut Gambang Kemayoran dan tidak disebut dengan Gambang Kromong karena alat musik kromong tidak digunakan. Lagu-lagu yang digemari saat itu diantaranya Onde-onde, Si Jongkong Kopyor, dan Kapal Karem.

Adapun Wayang Kulit berasal dari pengaruh Jawa. Ceritanya diambil dari epos Mahabharata dan Ramayana, walaupun begitu bahasa yang dipakai dalang dalam pertunjukkan wayang ialah bahasa Betawi. Wayang kulit Betawi yang terkenal di daerah Kemayoran ialah pimpinan Bapak Bagong yang tinggal di Kebon Kosong. Wayang Kulit biasa dipertunjukkan pada pesta perkawinan, sunatan, ruwatan, atau pesta tahun baru yang diselenggarakan oleh tuan tanah di Gedung Tinggi Kemayoran. Kesenian ini banyak dinikmati pada masa kolonial hingga awal pergerakan kemerdekaan.

Tari Topeng, biasanya dimainkan sebagai pembuka pementasan Lenong

Tari Topeng, biasanya dimainkan
sebagai pembuka pementasan Lenong
Sumber Foto : Ensiklopedi Jakarta, Culture & Heritage

Seni pertunjukkan teater, sandiwara, tonil, atau Der Muluk juga merupakan hiburan yang dapat dinikmati oleh rakyat. Salah satu cerita Der Muluk yang sangat disukai masyarakat Kemayoran ialah cerita Indra Bangsawan dan Jin Afrit. Setelah masa kemerdekaan, seni pertunjukan semacam teater dapat dinikmati warga Kemayoran di Gedung (Kesenian) Miss Tjitjih. Di tahun 80-an, bemo dari gedung Miss Tjitjih keliling kampung untuk mempromosikan acara pertunjukkan yang akan digelar sambil menyebarkan brosur.

Salah satu tokoh seniman Betawi Kemayoran yang populer dari seni suara dan pertunjukkan ialah Alm. Benyamin Suaeb. Berangkat dari kemampuan bermain lenong, gambang, keroncong, dan teater, Bang Ben, panggilan akrab Alm Benyamin S, kemudian populer sebagai penyanyi gambang dan lagu Betawi lainnya. Beliau juga dikenal sebagai aktor dan komedian ulung yang menjadi kebanggaan bangsa.

Selain seni musik dan hiburan, seni (olahraga) pencak silat, yang merupakan warisan leluhur juga mendapat tempat di hati masyarakat Betawi. Cabang/aliran pencak silat yang berkembang di masyarakat Betawi Kemayoran ialah Beksi, Dingkrik, Si tembak, Sin lam ba, dan Kolong meja. Hingga akhir 80-an, berlatih silat selepas waktu ba’da sholat Isya merupakan hal yang lumrah dilakukan bagi anak-anak muda. Sebelum itu, biasanya mereka mengaji bersama.

Adat-adat upacara seperti penganten dan penganten sunat, secara tradisional Betawi biasanya dirayakan dengan arak-arakan keliling kampung. Penganten biasanya nangkring di atas kuda. Di belakang sang penganten, sado, delman dan ondel-ondel turut mengiringi.

Upacara kematian pada warga Cina Betawi di kampung Kemayoran juga menjadi sebuah acara ramai yang ditunggu anak-anak. Berangkat dari rumah duka menuju tempat penyimpanan abu dengan menggunakan mobil, kendaraan ini berjalan pelan keliling kampung sambil menyebarkan uang recehan yang diperebutkan oleh anak-anak.

Hingga akhir 80-an, banyak dari seni budaya tradisional Betawi khas Kemayoran ini masih dapat dijumpai, namun kini budaya tradisional khas itu perlahan menghilang dari masyarakat.

Soekarno, presiden pertama RI pernah berkata, “Bangsa yang besar ialah bangsa yang menghargai sejarahnya”. Walaupun masa lalu Kampung dan wilayah Kemayoran kini tinggal kenangan. Namun peninggalan nilai-nilai baik dari seni, budaya, dan adat yang diwariskan tak boleh dilupakan.
Asal Usul Orang Betawi

Orang Betawi, menurut penelitian Milone dalam disertasinya Queen of the East: The Metamorphosis of a Colonial Capital, menyebutkan orang Betawi terbentuk dari beberapa kelompok etnik yang percampurannya dimulai sejak zaman kerajaan Sunda, Pajajaran, dan pengaruh Jawa yang ditandai dengan ekspansi Kerajaan Demak.

Percampuran etnik tersebut berlanjut dengan masuknya pendatang dari Cina, India, Sumatera, Indonesia bagian Timur, serta bangsa asing yang banyak masuk setelah abad ke-16 akibat berfungsinya Sunda Kelapa sebagai bandar internasional, dan pengaruh VOC.

Perkawinan campur penduduk yang berawal dari keturunan kerajaan Pajajaran atau Demak dengan berbagai suku bangsa pendatang ini, pada akhirnya menimbulkan satu etnik baru yang tidak termasuk salah satu kelompok etnik daerah Batavia dan sekitarnya di akhir abad ke-19. Kelompok etnik yang muncul inilah yang kemudian menjadi orang Betawi, dengan beberapa variasi budaya di beberapa tempat. Secara resmi, kelompok etnik ini baru memperkenalkan dirinya melalui organisasi pemuda yang didirikan pada tahun 1923, Perkoempoelan (Organisasi) Kaoem Betawi yang dipelopori oleh Mohammad Husni Thamrin.

Penulis : Fadli Arfan
Artikel ini telah diterbitkan di Majalah Jurnal Kemayoran Edisi 1, Maret 2009
over a year ago
·  Jay

Nama kemayoran diambil karena banyaknya sang mayor yang tinggal di kawasan ini. "Sebelum dibangun lapangan terbang daerah ini belum punya nama,"

kata salah satu sesepuh Kemayoran Haji Abdul Rasid, 76 tahun kepada VIVAnews.

"Hanya nama lokal saja seperti Kampung Utan, karena memang wilayah di sini dulunya hutan," sambungnya.

Namun, setelah dibangun bandara oleh Belanda tahun 1929, dibuatlah camp-camp (asrama) di Jalan Garuda untuk para tentara Belanda. Di situlah ditempatkan tentara berpangkat mayor-mayor.

Ketika itu banyak orang pribumi dari luar misalnya Senen dan Kampung Melayu yang bekerja di sana. "Saat ditanyakan mau kemana. Mereka bilang mau ke rumah mayor, biar lebih enak dan singkat bilangnya Kemayoran," ungkapnya.

Dari situlah nama Kemayoran menjadi populer. "Sejak itu kawasan bandara itu dinamakan Kemayoran," ujar pria kelahiran 1933 itu.

Namun ada cerita lain soal sejarah Kemayoran. Nama kawasan biasa disebut Mayoran, seperti yang tercantum dalam Plakaatboek (Van der Chijs XIV:536), dan sebuah iklan pada Java Government Gazette 24 Februari 1816.

Kisah ini dimulai dengan keberadaan Isaac de Saint Martin. Pemilik tanah ini memiliki tanah yang sangat luas dan tersebar di beberapa tempat, antara lain di Bekasi, di Cinere (dahulu disebut Ci Kanyere) sebelah timur Sungai Krukut di Tegalangus dan di kawasan Ancol. Luas lahannya ribuan hektar.

Nama aslinya, adalah Isaac de I’ Ostale de Saint Martin, lahir tahun 1629 di Oleron, Bearn, Prancis. Karena sesuatu sebab ia meninggalkan tanah airnya, dan membaktikan dirinya kepada VOC.

Pada tahun 1662 ia tercatat sudah berpangkat Letnan, ikut serta dalam peperangan di Cochin. Dengan pangkat mayor ia terlibat dalam peperangan di Jawa Tengah dan Jawa Timur, ketika VOC membantu Mataram menghadapi Pangeran Trunojoyo.

Pada Maret 1682 dia bersama Kapten Tack, ditugaskan untuk membantu Sultan Haji menghadapi ayahnya Sultan Ageng Tirtayasa.

Saat perang berlangsung, dia mulai merasa benci kepada Kapten Jonker, yang dianggapnya arogan.

Setelah perang itu selesai, dengan berbagai cara ia berusaha agar Jonker dikucilkan. Dan ternyata usahanya berhasil. Karena merasa dikucilkan, Jonker akhirnya bangkit melawan VOC walupun gagal.

Bandara Kemayoran diresmikan sebagai lapangan terbang internasional pada tanggal 8 Juli 1940 dan dikelola oleh KNILM (Koninklijke Nederlands Indische Luchtvaart Maatschappy) yang sekaligus menjadi kepanjangan tangan dari Maskapai KLM Belanda.

Proyek pembangunannya telah dimulai sejak enam tahun yang lalu oleh pemerintah Hindia Belanda.

"Tahun 1935 saya kena gusur, dulunya saya tinggal di dekat lapangan terbang atau terminal lama (tempat keberangkatan penumpang) Kemayoran," kata kakek yang memiliki 19 cucu itu.

Sejak itulah dirinya bersama ayahnya harus pindah di daerah Utan Panjang hingga sekarang. Kemayoran adalah bandara komersil pertama yang dimiliki Indonesia.

Meskipun hanya pesawat Dakota (jenis pesawat kecil dengan daya angkut 60 orang) yang biasa mendarat di fasilitas ini. "Kebanyakan orang Belanda atau bangsawan yang bisa berpergian menggunakan pesawat saat itu," paparnya.

Dia menjelaskan, tanggal 31 Maret 1985 ditetapkan sebagai tanggal berhenti beroperasinya Bandara Kemayoran. Kemayoran ditutup karena sudah dianggap tidak layak lagi sebagai bandar udara mengingat letaknya agak di tengah kota dan demi pembangunan wilayah Jakarta Utara.

Setelah ditutup, suasana masih tetap seperti sedia kala walau tanpa operasi dan aktivitas penerbangan.

Setelah resmi ditutup, area bandara Kemayoran seluas 454 hektar diambilalih oleh pemerintah dari Perum Angkasa Pura I, sebagai aset negara berdasarkan Perpu Nomor 31 tahun 1985.

Eks bandara Kemayoran dengan letaknya yang stategis menjadi rebutan bagi pengusaha properti dan kontraktor.

Sekarang ini di kawasan Kota Baru Kemayoran telah berdiri Mega Glodok Kemayoran, RS Mitra Kemayoran, Masjid Kemayoran, dan deretan apartemen seperti The View, Mediterenia Kemayoran, dan Puri Kemayoran.

Selain itu, perhelatan akbar juga digelar di sini seperti Pekan Raya Jakarta yang dibuka tiap tahun pada ulang tahun Jakarta selama sebulan.

Saat ini Abdul Rasid hanya bisa bernostalgia jika melihat menara pengawas dan terminal keberangkatan yang sampai saat ini masih berdiri kokoh di tengah-tengah himpitan gedung-gedung perkantoran dan perbelanjaan.

"Memang jejak sang Mayor hanya bisa diingat dengan adanya 2 bangunan itu," tutupnya.
• VIVAnews

No comments: